Hikayat

DAFTAR ISI

1.1 KATA PENGANTAR……………………………………………………………

2 1.2 HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR……………..

3 1.3 HIKAYAT BURUNG CENDRAWASIH………………………………….

6 1.4 HIKAYAT BURUNG KEMUNING………………………………………..

8 1.5 HIKAYAT TAFSIR MIMPI 7 EKOR SAPI NABI YUSUF…………

11 1.6 HIKAYAT KOTA YANG MENYIMPAN TONGKAT MUSA……

12 1.7 HIKAYAT BATU DAN POHON ARA……………………………………

14 1.8 GUNUNG TIDAR DAN TOMBAK KYAI PANJANG………………

17 1.9 HIKAYAT RAJA NEGERI :MENSYUKURI KEMALANGAN SEBAGAI PERUNTUNGAN………………………………………………….

21 2.0 HIKAYAT ABU NAWAS : PESAN BAGI PARA HAKIM……….

.27

 

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad, taufik, dan hidayahNYA sehingga kami tim penyusunan Macam-Macam Hikayat dapat terselesaikan dengan baik . Hikayat ini tersusun atas bantuan beberapa pihak. Selama pembuatan hikayat ini melibatkan pihak-pihak yang membantu terselesainya Hikayat ini. Terima kasih atas saran, kritik, motivasi dan masukan yang berharga. Dengan segala kerendahan hati kami tim penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan macam-macam Hikayat ini masih banyak kekurangan bahkan belum dapat mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritiknya,kami tim penulis macam-macam hikayat memohon maaf atas kekurangannya atas penulisan macam-macam hikayat ini. Mojokerto,26 Oktober 2011 penyusun HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR Pada zaman dahulu, ada seorang kakek yang cukup dihormati. Ia dikenal takut kepada Allah, membela pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an setiap hari. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan cerdas. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu. Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembil menghisap rokok dengan asiknya. Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan cepat. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan kejahatan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.” Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Setelah ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sedemikian rupa agar ular itu bisa masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa tongkat di tangannya. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Setelah tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.” Ular itu hanya mengeluarkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu kira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Keduanya sama-sama membuatmu sekarat.” Ular itu mengancam. “La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Seketika itu kemudian kakek tampak terpaku, kaget dengan kejadian yang tidak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali berkata, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan berteduh di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya: “Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Semoga Allah sentiasa membantumu.” Kata-kata itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu senang sekali sehingga dia berkata, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.” Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan: “Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.” Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya. Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai masuk dalam dunia maksiatan, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang. Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala desa. Kepala desa memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya dengan menebar ancaman. Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia memasukkan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya aku mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun aku lewatkan kecuali aku meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskanku dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya. Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan. Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun berdoa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau. Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakannya agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka. Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur. Sumber: Mansur, Affandi Wahbah (Penerjemah). tt. Alfu Yaum wa Yaum. Mesir: Dar al-Hilal. hal 38-40. Diterjemahkan kembali oleh Misran. http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=282&kat=63 Hikayat Burung Cenderawasih Dicritakan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih. Asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ia berasal dari surga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang indah. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata perbedaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barang siapa yang melihat pastilah takjub akan keindahan dan keunikan burung cenderawasih. Jarang sekali orang bisa memiliki burung cenderawasih. Di karenakan burung ini tidak berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahwa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Setelah mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para penjaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat. Dahulu dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, jika burung cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati jika menjejakan kaki ke bumi. Namun yang lebih ajaib, burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Bahkan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sulit untuk dijelaskan. Burung cenderawasih mati dalam berbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China. Bagi kalangan penduduk Eropa, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘. Secara faktanya, asal usul burung ini gagal diketahui atau didapatkan hingga sekarang. Tidak ada bukti yang menunjukkan ia berasal dari bumi. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang aneh tentang satu kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Siapapun yang menjumpainya adalah satu keberuntungan. Oleh karena itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakan sudah beberapa generasi yang mewarisi burung ini. Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahwa burung cenderawasih mempunyai berbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakan digunakan untuk pengobatan. Namun karena banyak orang yang memburunya kerana keberuntungan. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Jika seseorang memiliki bulu burung cenderawasih saja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Berdasarkan pendapat orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bahwa bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu tentang kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukan sembarangan burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, keberuntungan. [Phoenix/infokito] http://infokito.wordpress.com/2007/11/13/hikayat-burung-cenderawasih/ Hikayat Bunga Kemuning Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja terkenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istrinya sudah meninggal dunia saat melahirkan anaknya yang terakhir, sehingga anak sang raja diasuh oleh para pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tidak mau belajar dan tidak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi diantara mereka. Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan gembira kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan para pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya. Pada suatu hari, raja akan pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja. “Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon. “Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya. “Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. “Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tidak lama kemudian, raja pun pergi. Saat sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak para pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang nakal itu, pelayan tidak sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula para pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap ingin mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,”kata seorang diantaranya. “Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan yang di derita para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya. “Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah. “Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning sendirian. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. “Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tidak ada. “Sudahlah Ayah, tidak apa-apa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. “Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri. Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka. “Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari dalam saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal. “Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai menggotong Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam tidak berkata apapun. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya. Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas. Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang. Seketika itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan. Moral : Kebaikan akan membuahkan hal-hal yang baik, walaupun kejahatan sering kali menghalanginya. Sumber : http://www.balita-anda.com Hikayat Tafsir Mimpi 7 Ekor Sapi Nabi Yusuf Syah dan Nabi Yusuf pernah dipenjara oleh Raja Mesir hingga akhirnya dibebaskan karena mampu menafsirkan mimpi aneh dan sangat mengganggu sang baginda. Mimpi mengenai tujuh ekor sapi gemuk yang digantikan oleh tujuh ekor sapi kurus. Maka beliau pun menafsirkannya sebagai akan datangnya masa makmur selama bertahun-tahun dan digantikannya masa paceklik selama bertahun-tahun. Setelah mendengarkan penafsiran beliau maka Sang Raja pun memerintahkan untuk membuat persiapan-persiapan selama masa makmur sebagai langkah antisipasi selama masa paceklik. Hal tersebut ternyata menyelamatkan kesejahteraan rakyat Mesir selama masa paceklik hingga mereka dapat melewatinya dengan baik karena adanya langkah-langkah antisipasi selama masa makmur. Masa makmur adalah saat yang digunakan untuk bersiap menghadapi masa paceklik. Hikayat ini sebenarnya merupakan sebuah pesan moral yang disampaikan kepada manusia untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tidak terjebak dengan pemuasan untuk kepentingan sesaat saja. Hidup manusia memang sudah ditakdirkan berputar seperti roda. Kadang ada di atas dan kadang ada di bawah. Nah, di setiap posisi tersebut kita harus selalu bersiap-siap menghadapi perubahan dalam bentuk apapun. Terutama kesiapan mental untuk menghadapi hal-hal yang kita tidak bersiap menghadapinya. Sehebat apapun rencana yang kita susun dalam hidup ini, ternyata pada kenyataannya seringkali berubah dalam hasil akhirnya. Kalaupun target bisa tercapai, apakah tidak pernah terpikirkan bahwa sebenarnya kita bisa meraih lebih dari itu? Atau sebenarnya kita sudah melewatkan peluang-peluang lain yang lebih baik dari itu? Hanya karena kita sudah mengenakan kaca mata kuda dengan berpaku kepada target-target dan rencana-rencana dalam hidup kita. Hidup memang selalu berubah. Tapi perubahan itu lebih menuntut adanya pengembangan dalam diri kita menjadi lebih baik dan tentu saja menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Bersiap menghadapi apa yang kita tidak siap menghadapinya adalah hal penting yang harus selalu kita kembangkan. Hingga akhirnya hidup kita bisa lebih berbahagia karena dimanapun posisi kita dalam roda kehidupan ini tidak pernah menjadi masalah. Saat di atas kita tetap berbahagia karena bisa menikmati hidup yang indah dan bersiap-siap menyongsong saat kita nanti harus berada di bawah. Pun saat di bawah kita menjadi lebih berbahagia karena yakin bahwa akan merambat lagi ke atas dan bersiap-siap menyongsong masa nanti yang lebih indah. Sumber : http://www.setiabudi.name/archives/444 Hikayat Kota yang Menyimpan Tongkat Musa ISTANBUL, yang sebelumnya bernama Byzantium lalu Constantinople, dibangun sekitar 658 sebelum Masehi oleh bangsa Megarians, salah satu koloni Yunani. Kota ini persis berada di tepi Tanduk Emas (Golden Horn) dan berbatasan langsung dengan selat Bosporus yang memisahkannya dari benua Asia di timur. Kata Byzantium diambil dari nama pemimpin Megarians, Byzus yang berasal dari negara, sebuah wilayah di dekat Athena. Pada 326 M, Kaisar Romawi, Constantine, memilih kota ini sebagai pusat kekuasaannya di timur dan mengubah Byzantium menjadi Constantinople, serta memperluas wilayah kota hingga melingkupi tujuh bukit di sekitarnya. Constantine yang memulai pembangunan benteng raksasa yang mengelilingi pusat kekuasaan di Istana Topkapi. Hingga hari ini reruntuhan benteng itu masih berdiri kokoh, melingkar dari Jalan Alemdar, lalu memotong Aya Sofia hingga ke ruas Jalan Kennedy, lalu ke arah Sarayburnu di utara. Menurut Roger Crowley dalam buku 1453: the Holy war of Constantinople and the Clash of Islam and the West, keinginan Islam merebut Constantinople sama tuanya dengan usia agama yang lahir di jazirah Arab itu. Pembawa ajaran Islam, Muhammad SAW pada 629 M mengirim selembar surat untuk Kaisar Heraclius di Constantinople. Dalam suratnya, Muhammad mengajak Heraclius meninggalkan paganisme (penyembahan berhala) dan mengimani satu Tuhan. Namun Heraclius memilih menolak seruan itu. Muhammad pun tak memaksa. Seiring bergilirnya waktu, Islam berkembang luas dengan cepat. Pada era 630-an, Damaskus di Syria menjadi pusat kekhalifahan Islam yang dipimpin Dinasti Muawiyyah. Tahun berikutnya Islam diterima di Jerussalem, Mesir (641), dan Armenia (653). Dalam waktu selanjutnya seluruh Parsia mengakui Islam. Pada 669, sekitar 40 tahun setelah Muhammad wafat, Muawiyyah mengirimkan pasukan ke Constantinople. Tahun selanjutnya, Muawiyyah menaklukan Dardanelles dan Tanjung Cyzcus, di selatan Constantinople. Sepanjang 670-an kapal-kapal perang Muawiyyah berlayar bolak-balik menyusuri Bosporus, dari Laut Hitam di utara ke Laut Marmawa di selatan, begitu seterusnya. Di akhir waktu itu, Constantinople menembakkan berton-ton batu api ke arah kapal-kapal perang Muawiyyah. Serangan ini menghasilkan kerugian besar di pihak Muawiyyah. Tak ada jalan lain, kecuali menarik pasukan dan, untuk sementara, menyimpan mimpi tentang Constantinople hingga ia wafat di tahun 679. Keinginan Muawiyyah menaklukan Constantinople baru terlaksana sekitar 800 tahun kemudian. Senin, 29 May 1453, pasukan Ottoman dari Anatolia di yang dipimpin oleh Fatih Mehmed II mendobrak pertahanan Constantinople. Pertarungan berjalan dengan sengit. Kedua belah pihak kehilangan ribuan tentara. Setelah menaklukan Constantinople, Mehmed II yang kala itu baru berusia 21 tahun meminta agar pasukannya tak membantai warga kota dan tak merusak bangunan yang ada. Mehmed juga mengubah Katedral St. Sophia menjadi masjid, dan pada hari Jumat pertama, 2 Juni 1453, dia dan pasukannya menggelar shalat Jumat di tempat itu. Di awal abad ke-17, Sultan Ahmet I mendirikan Masjid Biru di seberang Aya Sofia. Tak seperti Aya Sofia yang memiliki empat menara, Masjid Biru memiliki enam menara dan 36 kubah kecil di sekitar kubah induk. Dan Aya Sofia sejak itu menjadi museum. Lukisan-lukisan kramik peninggalan Katholik di dinding dan di langit-langit St. Sophia masih dapat disaksikan hingga kini. Untuk memberi nuansa Islam, Ottoman memasang tujuh kaligrafi besar di ruang utama, yang masing-masing bertuliskan nama Muhammad, empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, serta dua cucu Muhammad, Hassan dan Hussein. Seperti Romawi, Ottoman juga menjadikan Topkapi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal Sultan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Istana Dolmabache. Dan kini, setelah menjadi museum pada 1924, di Topkapi dapat ditemukan berbagai benda yang berhubungan dengan perkembangan agama Islam. Bahkan, jenggot, pedang dan cetakan telapak Nabi Muhammad ada. Juga tongkat yang (kemungkinan) digunakan Nabi Musa untuk membelah Laut Merah saat dia melarikan diri dari Mesir bersama ribuan orang Yahudi ke Israel, hampir 4.000 tahun lalu. Sumber : http://teguhtimur.com/2005/11/29/hikayat-tongkat-musa/ Hikayat Batu Dan Pohon Ara By MTA (Made Teddy Artiana) http://semarbagongpetrukgareng.blogspot.com/ Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Diantara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal. Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal.Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya. “Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu ?”. “Baik pengamatan mu, anak ku”, jawab Ayahnya,”bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda”. “Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa ?”, tanya anaknya kembali. “Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru dipinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.” “Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu pada ku?” “Tentu buah hatiku”, sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya. “Dahulu, ketika aku masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hati ku. Dan kakek mu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing batu yang tampak oleh mu sebenarnya sedang menindih sebuah biji pohon ara.” “Tidakkah benih pohon ara itu akan mati karena tertindih batu sebesar itu Bapa ?” “Tidak anak ku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin”. “Bilakah hal itu terjadi Bapa ?” “Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunas nya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya. Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar.” “Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa ?”, tanya anaknya. Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya. “Benar anak ku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagi mu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk dimuka bumi ini. Perhatikanlah kata-kata ini anak ku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita.” Sumber ; http://www.mail-archive.com/bicara@yahoogroups.com/msg02951.html GUNUNG TIDAR DAN TOMBAK KIAI PANJANG Di Magelang terdapat sebuah bukit yang berada di tengah-tengah kota. Bukit itu sangat terkenal karena menjadi salah satu tempaan para taruna AKABRI. Bahkan bukit itu menjadi salah satu ciri khas kota itu. Namanya bukit Tidar, atau lebih dikenal sebagai Gunung Tidar. Konon Gunung Tidar merupakan pusat atau titik tengah Pulau Jawa. Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tiada seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya. Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal. Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, Gunung Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang konon dipimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak sama dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti yang terkenal seram. Setiap ada manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar Gunung Tidar, maka tak segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa raksasa-raksasa dan genderuwo untuk memangsanya. Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba membuka wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah itu. Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar. “Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar. “Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan tenang. “Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini. Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian tanpa sisa.” “Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata Syekh Bakir. “Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam. Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai Semar dan bala tentaranya. Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama Kiai Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar. Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu. Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya. Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Kiai Semar dan sebagian tentaranya melarikan diri ke timur dan konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker. Bahkan sebagian lagi anak buah Kiai Semar ada yang melarikan diri ke alas Roban, bahkan ke Gunung Srandil. Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan dimakamkan di puncak Gunung Tidar dengan nama Makam Tombak Kiai Panjang. Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya. Ditulis oleh: Dorothea Rosa Herliany http://pendekartidar.org/hikayat-gunung-tidar.php Hikayat Raja Negeri : Mensyukuri Kemalangan sebagai Peruntungan Pada negeri antah berantah berdiri sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang ternyata memiliki kegemaran berburu. Suatu hari, Raja berburu ke hutan ditemani penasehat dan pengawalnya. Saat berburu Ia mengalami kecelakaan. Jari kelingking tangan kiri raja terpotong oleh pisau yang sangat tajam akibat terlalu ceroboh. Raja meringis sedih. Melihat kesedihan sang Raja, Penasehat berusaha menghibur dengan kata-kata manis. Namun, kata-kata manis tak mampu mengobati sedih, sang Raja tetap bersedih. Penasehat akhirnya berkata, Baginda mulia, apapun yang terjadi menimpa kita, patutlah disyukuri dan menjadi renungan. Mendengar ucapan si penasehat, raja ternyata tak terima malah menjadi marah. “Kurang ajar engkau,” ucap Raja dengan wajah memerah. Penasehat terkejut. Maksud hati memberi kalimat bijaksana malah murka raja didapat. “Maafkan saya Baginda, Hamba memang tak bijak dalam berkata” ungkap Penasehat memelas. “Engkau keterlaluan, Saya mendapat musibah bukannya dihibur, malah Engkau suruh bersyukur.”. Kata Raja dengan kata menuding. Kekesalannya nampak jelas dari raut wajahnya yang tegang. Akhirnya karena terlalu murka, Raja tak mengindahkan ampunan penasehatnya. Keputusan segera diambil, lantang nian mengajari bersyukur dikala kemalangan menimpa dalam hati sang Raja. Kesakitan hati tak bisa di obati. “Punggawa, segera tanggap penasehatku, kurung ia dalam penjara istana, biar ia merasakan kemalangan,” titah sang Raja segera diamini oleh sejumlah punggawa disekelilingnya. Ampuni hamba Baginda, Ampuuun, pohon penasehat kepada sang Raja. “Huh..luka pedang bisa sembuh sehari, luka kata abadi di hati, Penjarakan dia..tiga tahun..cepaat, Raja tidak berbicara lantas meninggalkan penasehatnya dirantai. Hutan itu kembali diam, jejak kaki kuda telah pergi. Tinggallah tangisan penasehat dalam sayup yang makin jauh. Bilangan hari terlewati, ternyata hilangnya kelingking tidak membuat raja berhenti berburu. Kegemarannya telah mendarah daging dan sulit untuk dilunturkan. Hingga, pada suatu hari, sang Raja beserta penasehat baru dan rombongan punggawa pergi lagi berburu ke hutan. Hutan kali ini terletak di perbatasan negeri. Jarang orang yang melewatinya karena keangkerannya. Namun karena kijang dan rusa banyak terdapat disana, niatan sang Raja mau tak mau harus diwujudkan. Pergilah mereka di pagi hari dengan menunggang kuda. Ketika sampai di tengah hutan, mereka beristirahat melepas lelah. Pohon “pohon besar nampak seperti tiang istana memagari rombongan. Sinar matahari pun bagai larik-larik memancar dari sela-sela kanopi dedaunan di atas. Udara dingin dan gelap cuaca meliputi mereka di tempat tersebut. Tiba-tiba, syut..syut..syuuut..sejumlah anak panah melesat masuk mengenai kepala dan badan sejumlah punggawa. Kejadian ini membuat rombongan panik, hujan anak panah menggejutkan hati. Hal ini membuat, Raja dan penasehat melarikan diri. Mereka berlari jauh, meninggalkan teriakan kesakitan para punggawa yang sekarat di belakang. Mereka berpisah dengan pengawal bersenjata. Kemalangan nampaknya ada di depan mata. Sejurus kemudian, mereka berhadap- hadapan dengan gerombolan suku primitive. Rumbai alang- alang berujung tengkorak menghiasai penutup kepala mereka, sedang kulit mereka hitam. Mereka berbicara dengan bahasa tak dikenal. Mengoceh berteriak ramai. Sejumlah pria berbadan kekar bersenjata tombak batu lalu menghambur ke depan. Menerkam raja dan memukul dengan beringas. Raja dan penasehat pingsan seketika. Ketika tersadar, mereka berdua telah berada di sebuah gua besar. Gua ini sangat terang benderang oleh obor kayu. Jelaga hitam tampak memenuhi langit-langit goa berbatu. Keramaian bagai memekakkan telinga. Karena inilah mereka terbangun. Penasehat, ada dimana kita?, tanya sang Raja lirih. Entah Baginda, tapi nampaknya alamat buruk. Jawab penasehat pelan dan bergetar ketakutan. Mereka berdua terikat erat , sedang dihadapnya terbentang kolam api merah menyala. Wanita berjubah tampak menari dan tertawa sambil menyalakan sejenis dupa menebar aroma busuk disekeliling. Sedang sejumlah anggota suku berjingkrak-jingkrak kesurupan dibuai rasa mistis. Seram dan menakutkan. Tak lama, dua orang anggota suku mengangkat tubuh Raja dan Penasehat ke wanita tersebut. Penasehat dilirik, diperhatikan seolah mencari tahu detail tubuhnya. Begitu juga dengan sang Raja. Keduanya lalu dimandikan. Penasehat yang pertama dimandikan, lalu setelah selesai, dua orang lelaki bertopeng mengangkatnya lantas melumurinya dengan ramuan dari sebuah tong dekat pemandian. Tak menunggu lama, ia langsung dilempar ke kolam api di depannya. Teriakan kesakitan menyayat hati membahana seiring ledakan bahagia dari penghuni gua. Kini giliran sang Raja. Aneh bin ajaib, ketika sang Raja dimandikan, tiba-tiba wanita tua tersebut berteriak setengah ketakutan. Seakan- akan dikejar makhluk buas penghuni neraka. Semuanya diam, dalam detik menegangkan antara hidup dan mati, Raja tak ubahnya sesosok putih terbujur kaku. Wanita tersebut, berkata dan mengoceh, beranjak ke pemandian, menarik tangan kiri sang Raja, dengan bahasa yang tidak dimengerti. Wanita tua itu berteriak lagi, tampak dua pria kekar menarik,mengangkatnya, lalu memanggul sang Raja setengah berlari keluar dari Gua. Disebuah jurang, tubuh lemah sang Raja dibuang ke sungai dibawah. Byuuuurr… Pada sebuah pagi, petani tua menemukan tubuh sang Raja negerinya di tepian sungai dekat petak sawah garapan keluarga. Dibantu anak cucunya, Raja dibopong lalu dihangatkan di dalam pondok petani tersebut. Keesokan harinya, baru lah sang Raja tersadar. Ia bersyukur masih bisa bernafas dan menikmati kebebasannya. Rupanya, setelah berbincang- bincang dengan Petani tua tersebut, didapatlah sebuah cerita. Tentang sekelompok suku kanibal pemuja dewa api di hutan larang itu. Suku itu suka memakan manusia dan mengorbankan untuk diserahkan kepada Dewa-dewa mereka. Banyak orang yang telah menjadi korban keganasan suku tersebut. Dari cerita-cerita leluhur mereka, suku itu adalah sebenarnya manusia yang dikutuk karena angkuh dan sombong serta suka sewenang- wenang kepada sesame. “ Pada saat mereka akan mengorbankan seseorang, harus dengan syarat yakni seluruh anggota tubuh harus utuh tidak ada yang kurang, bahkan bekas lecet atau luka tidak bolah ada”, cerita sang Petani berapi- api. “ Jadi itulah mungkin, yang membuat diriku dibebaskan,” aku sang Raja. “ Terimakasih Tuhan,” katanya lagi. Akhirnya, dengan diantar petani, Raja kembali ke istana. Upacara selamatan digelar lima hari lima malam menyambut kedatangan sang Raja kembali. Pengalaman itu lalu mengajarkan Raja untuk bersyukur terhadap apa yang menimpa dirinya. Ia membebaskan penasehat lamanya. “ Penasehatku, aku berterima kasih kepadamu, nasehatmu ternyata benar. apa pun yang terjadi patut disyukuri. karena hilangnya jari kelingkingku waktu itu membuat aku bisa kembali dengan selamat.” Ungkap Raja dengan penuh perenungan. Raja pun menceritakan kejadiannya secara lengkap. Setelah mendengan cerita dari sang raja, si penasehat tiba- tiba berlutut sambil berkata, “Terima kasih baginda, saya pun bersyukur baginda telah memenjarakan saya, karena kalau tidak, mungkin yang menjadi persembahan kepada para dewa itu adalah saya.”. Perkataan ini disambut gelak tawa Baginda dan seisi istana. Kebahagiaan kembali menceriahkan keluarga besar Raja dan rakyat. Sang Raja menjadi lebih bijaksana. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Hikayat%20Raja%20Negeri%20%20:%20Mensyukuri%20Kemalangan%20sebagai%20Peruntungan&&nomorurut_artikel=38 Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Para Hakim Siapakah Abu Nawas ? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini- sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M diBaghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab, la juga pandai bersyair, berpanlun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad. Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan men-do’akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya. Namun..,demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya. Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya. Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas. “Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan. “Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban. “Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.” “Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan. Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir. “Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas. “Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran. “Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya. Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas, bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.” Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja. “Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda. “Ya Baginda, tahukah Anda……?” ‘Apa Abu Nawas…?” “Baginda…terasi itu asalnya dari udang !” “Kurang ajar kau menghinaku Nawas !” “Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?” Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. “Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.” Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga. “Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu?Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nan, sekarang mana bagianku itu?” “Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepadaku tadi?” “lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?” “Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!” “Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.” Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila. Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid. “Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.” Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh limakali pukulan?” Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu “Apa maksudmu? Coba kau jelaskan !” “Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima.” “Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda “Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang mengira jika Baginda memberikan hadiah pada Abu Nawas. “Hahahahaha…….!Dasar tukang peras, sahut Baginda.”Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad suka memeras orang! Kalau kau tidak mengubah tingkah laku, aku akan memecat dan menghukum kamu!” “Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang. Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu untuk keluarga hamba habis karena panggilan Tuanku. Padahal besok bukan jatah untuk keluarga hamba.” Sejenak Baginda melengak, terkejut, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah….” Baginda kemudian memerintahkan bendahara sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di rumahnya, Abu Nawas semakin nyentrik seperti orang gila. Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengumpulkan para menterinya. “Apa pendapat kalian mengenai Abu N. sebagai kadi?” Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.” Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.” “Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.” Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Pulan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi. la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi. Maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda, dengan mudah Baginda menyetujuinya. Begitu mendengar Pulan diangkat menjadi kadi , Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Alhamdulillah….. aku telah terlepas dari balai yang mengerikan.Tapi….sayang sekali kenapa harus Pulan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.” ……………………………. Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai. Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.” Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk. “Bagamaina anakku? Sudah kau cium?” “Benar Bapak!” “Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?” “Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.” Berkata Syeikh Maulana.”Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.” Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi. Seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi, namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. http://www.jendelasastra.com/karya/sastra-lama/hikayat-abu-nawas-pesan-bagi-para-hakim

Tinggalkan komentar